Tak Terdengar
Oleh: Ihya’Baru satu detik umurku,
nafas pertamaku pecah berwujud tangis
tangisanku menggelegar namun tiada terdengar
Sebab denyar ledakan di luar berhasil menutup telingamu
panas dan dingin menemani teriakan sakit ibuku
panasnya desing proyektil yang melesat
dinginnya hati tentara pemiliknya
Tujuh tahun umurku
Menghafalkan Al-Qur’an menjadi kebiasaan
Namun lantunan merdu dari lisanku tiada terdengar
Sebab bisingnya senapan mengunjam membutakan indramu
Aku sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi
Kenapa puing-puing ini menjadi taman bermainku
Mengapa lapar selalu menjadi sarapanku
Delapan belas tahun sudah umurku
Kusadari penuh apa yang sejatinya terjadi
Gemuruh runtuhnya rumah kami tiada terdengar
Karena perdebatan di belahan dunia sana mengubur akalmu
Setiap detik kauberdiskusi, di sini temanku mati
Satu persatu, hingga tak ada yang tersisa lagi
Kini ku hanya bisa memeluk lututku sendiri
Dua puluh lima kini umurku
Kutemukan pelipur lara sejati: manisnya mati!
Kulejitkan panggilan adzan meski ia tiada terdengar
Suara sumbang binatang masih kuat membelenggu hatimu
Kalaulah jalan berdarah yang digariskan untukku
Kujemput kematian dengan senyum di pipiku
Walau kalian tidak mendengar teriakanku
Tidaklah aku mengharap kalian untuk mendengarku, namun…
Akankah selanjutnya lolong serigala lebih terdengar dari dzikirku
Akankah seterusnya gonggongan-gonggongan anjing lebih terdengar dari takbirku
Akankah selamanya bisikan-bisikan iblis, setan, dan dajjal lebih terdengar dari tahlilku